Sabtu, 30 Mei 2015

Pengamatan Perubahan Garis Pantai sebagai Upaya Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir


Pengelolaan wilayah pesisir menjadi suatu kegiatan terpadu untuk menjaga dan mengendalikan kondisi di wilayah pesisir. Kegiatan ini seringkali melibatkan banyak disiplin ilmu dalam hal inovasi teknologi pengelolaan wilayah pesisir. Kombinasi teknologi ini dapat memunculkan inovasi yang berperan dalam kontribusi pengelolaan wilayah pesisir. Salah satu teknologi yang memiliki banyak fungsi dan aplikasi adalah teknologi penginderaan jauh. 

Teknologi penginderaan jauh memungkinkan manusia untuk mengamati suatu objek tanpa harus menyentuh atau mendekatinya. Teknologi ini mempermudah manusia untuk mendapatkan informasi dan data dari lapangan dengan cakupan area yang luas dan dalam waktu yang relatif singkat. Teknologi ini memang tidak bersifat real time, sebab pengambilan data dengan wahana seperti satelit dan pesawat tentu membutuhkan waktu lebih dari 1-2 hari, namun teknologi penginderaan jauh ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan nantinya. Salah satu aplikasi penginderaan jauh yang bermanfaat di wilayah pesisir adalah untuk mendeteksi perubahan garis pantai. 

Pendeteksian perubahan garis pantai ini dapat dilakukan dengan membandingkan citra satelit resolusi menengah dan tinggi yang multi temporal. Citra dengan resolusi menengah dan tinggi memiliki kondisi visual yang baik sehingga dapat diinterpretasi secara visual. Selain itu citra resolusi menengah cukup banyak ditemui secara bebas di internet misalnya melalui website USGS dan earth explorer.

Pengolahan data citra untuk mendapatkan analisa perubahan garis pantai melalui beberapa tahapan. Pertama dengan melakukan koreksi geometrik dan koreksi radiometrik pada citra untuk meningkatkan kualitas visual citra serta untuk memastikan agar citra yang dihasilkan mempunyai sistem koordinat dan skala yang seragam. Selanjutnya dilakukan proses Cropping Area of Interest, yaitu melakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah yang dikehendaki. Kemudian delineasi garis pantai dilakukan untuk dapat mengetahui batas garis pantai, selain itu juga dilakukan interpretasi penggunaan lahan untuk mengetahui pemanfaatannya. Terakhir, overlay hasil delineasi dan interpretasi citra diperlukan untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi. Jenis perubahan garis pantai yang terjadi dapat diketahui dengan menganalisis data yang telah diolah sesuai langkah diatas.

Perubahan garis pantai ada 2 macam, yaitu akresi dan abrasi. Akresi pantai adalah perubahan garis pantai menuju laut lepas karena adanya proses sedimentasi dari daratan atau sungai menuju arah laut. Proses sedimentasi di daratan dapat disebabkan oleh pembukaan areal lahan, limpasan air tawar dengan volume yang besar karena hujan yang berkepanjangan dan proses transport sedimen dari badan sungai menuju laut. Akresi pantai juga dapat menyebabkan terjadi pendangkalan secara merata ke arah laut yang lambat laun akan membentuk suatu dataran berupa delta atau tanah timbul. Proses akresi pantai biasanya terjadi di perairan pantai yang banyak memiliki muara sungai dan energi gelombang yang kecil serta daerah yang bebas terjadi badai. Sedangkan abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut . 

Gambar 1. Contoh peta abrasi dan akresi (Parman 2010)

Melalui pengamatan perubahan garis pantai, maka dapat diketahui kondisi yang sedang  terjadi di wilayah pesisir suatu daerah, dengan begitu maka pemerintah dan lembaga pemerhati lingkungan dapat mengambil kebijakan dan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan selanjutnya untuk menjaga kelangsungan ekosistem pesisir. Selain itu pemerintah juga dapat memutuskan, apakah wilayah pesisir tersebut dalam kondisi yang layak untuk menerima investasi atau sedang membutuhkan penanganan khusus menyangkut konservasi dan pemberdayaan lingkungan.

Sumber : Parman, S. (2010). Deteksi Perubahan Garis Pantai Melalui Citra Penginderaan Jauh di Pantai Utara Semarang Demak. Jurnal Geografi, 7(1).

Rabu, 20 Mei 2015

Mengapa Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Membutuhkan Perhatian Khusus ?


Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki ribuan pulau yang beraneka-ragam karakteristiknya. Banyak dari pulau-pulau tersebut yang hanya merupakan pulau-pulau kecil yang terbentuk dan terpisah dari pulau-pulau besar lainnya. Tidak jarang kondisi ini membuat pulau-pulau tersebut menjadi terisolir dan terkucilkan keberadaannya. Sulitnya akses dan kurangnya interaksi dengan dunia luar seringkali membuat mereka yang berada di pulau-pulau kecil "ketinggalan zaman", apalagi pulau-pulau kecil terluar di Indonesia. Namun di sisi lain, pulau-pulau kecil tersebut juga memiliki adat istiadat yang ingin mereka pertahankan sedemikian rupa sehingga mereka cenderung enggan ikut ambil pusing dengan apa yang ada di luar. Pulau-pulau kecil memiliki kompleksitas tersendiri dalam pengelolaannya sehingga penting bagi kita untuk memahami dan menyeimbangkan kondisi tersebut agar keberadaan dan upaya konservasi yang ingin kita lakukan tidak malah justru mengancam pulau-pulau kecil itu sendiri.

Gambar 1. Pulau-pulau kecil memiliki potensi keindahan panorama yang luar biasa

Pulau-pulau kecil di Indonesia membutuhkan perhatian khusus, hal ini didasarkan beberapa hal yang menjadi karakteristik mereka. Pertama adalah karena kondisi mereka yang kecil. Menurut UU No. 27 Tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Dibalik kondisi luas seperti berikut tentunya terdapat beberapa keterbatasan seperti cadangan air tawar yang tidak sebanyak pulau-pulau besar pada umumnya. Dibutuhkan suatu konservasi sumber daya air untuk menjaga kondisi lingkungan agar tetap seimbang. Alasan yang kedua adalah kondisi pulau kecil yang umumnya terisolir dari dunia luar. Kondisi ini harus diatasi oleh pemerintah daerah setempat agar dapat menjangkau pulau-pulau kecil yang masih berada di bawah naungannya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin secara menyeluruh, baik yang dekat maupun yang jauh dengan daerah pemerintahan. Alasan yang ketiga adalah karena pulau-pulau kecil memiliki potensi. Setiap jengkal daerah Indonesia sangatlah berharga dan didalamnya seringkali tersimpan harta yang tak ternilai harganya. Baik itu dari segi sumber daya alam hingga pemandangan alam yang mengesankan dan berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan kehati-hatian karena kondisi sumber dayanya yang walaupun melimpah namun juga sangat sensitif. Hal ini berkaca pada pengalaman sepak terjang industri eksplorasi mineral dan batu bara yang selain tidak memperhatikan kelestarian hutan alam, juga mengancam keberlangsungan masyarakat adat melalui pemanfaatan lahan yang mereka lakukan.

Menjaga konsistensi dan kondisi Indonesia yang sangat luas ini sudah menjadi konsekuensi Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan keunikannya tersendiri yang merupakan kekayaan yang dimiliki suatu negara. Jangan lantas karena kondisinya yang "kecil" kemudian ia dikesampingkan, namun kondisi itulah yang sebenarnya membuat ia istimewa.

Jumat, 27 Maret 2015

Samudra Hindia sebagai Pendukung Indonesia menuju Poros Maritim Dunia



Gambar 1. Posisi Indonesia di Samudra Hindia

Letak geografis merupakan salah satu penentu masa depan dari suatu negara dalam melakukan hubungan internasional. Meski untuk sementara waktu sedang diacuhkan, kondisi geografis suatu negara akan menentukan peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh secara global. Robert Kaplan menuturkan bahwa geografi secara luas akan menjadi determinan yang mempengaruhi berbagai peristiwa lebih dari pada yang pernah terjadi sebelumnya (Foreign Policy, May/June, 09). Di masa yang akan datang, keberadaan Indonesia akan dipengaruhi oleh kondisi dan letak geografisnya. Maka tata kelola sumber daya alam, wilayah perbatasan dan pertahanan yang mumpuni sangat diperlukan.

Karena letaknya yang strategis sejak dulu Indonesia telah menjadi arena  perebutan pengaruh oleh pihak asing. Negara ini telah melalui beberapa periodisasi penguasaan dan perebutan pengaruh, mulai dari Portugal, Belanda, hingga Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin. Di masa mendatang tidak menutup kemungkinan Indonesia akan kembali menjadi wilayah perebutan pengaruh oleh negara-negara besar. Hal ini bisa dilihat dengan kemunculan China sebagai hegemon baru di kawasan yang telah menggeser perimbangan kekuasaan sekaligus mengikis pengaruh Amerika di kawasan.

Menanggapi hal tersebut maka penting bagi Indonesia untuk bisa menentukan sikap dan kewenangan terkait pengelolaan wilayahnya. Hal ini sebagai perwujudan kekuatan Indonesia sehingga Indonesia bisa dipandang di mata dunia Internasional. Indonesia bisa memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya berupa wilayah maritim yang sangat luas untuk memulai langkah-langkah besar kebijakan maritim yang nantinya dapat menjadi poros maritim dunia. Kebijakan-kebijakan menyeluruh terkait pengelolaan, penjagaan, dan pemeliharaan wilayah maritim adalah hal yang krusial, melihat kondisi Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh perairan yang beraneka ragam. Sebagai negara dengan wilayah maritim yang luas, Indonesia tentu memiliki banyak pedoman dan pertimbangan terkait pembuatan kebijakan maritim. Hal tersebut membuat Indonesia menjadi lebih mumpuni dalam pembuatan kebijakan maritim di wilayahnya. Apalagi melihat kondisi perairan yang melingkupi wilayah Indonesia yang dalam hal ini bukan hanya perairan dangkal namun juga perairan dalam, serta melibatkan Samudra Hindia yang merupakan samudra terluas diurutan ketiga di dunia. Kebijakan maritim yang dibuat tentu akan mempertimbangkan juga struktur perairan dan kondisi kenampakan maritim itu sendiri.

Letak Indonesia di Samudra Hindia membuat Indonesia turut merasakan berbagai kondisi politik yang ada di Samudra Hindia. Samudera Hindia kini jadi sorotan, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Untuk pertama kalinya sejak permulaan abad ke-16, konsentrasi global perekonomian dunia tidak lagi ditemukan di Eropa, bukan juga Amerika, melainkan di Asia. Beberapa pemikir Geopolitik dari Eropa dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of the Atlantic era”. Ini juga didukung oleh pandangan Robert D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Sebagaimana diurai dalam keterangan-keterangan dalam 'World Fact Book CIA" bahwa Samudra Hindia adalah sebuah "major sea lane" yang dilintasi 90°/o barang-barang perdagangan dunia sebagai berikut :

“...The Indian Ocean is a critical waterway for global trade and commerce. This strategic expanse hosts heavy international maritime traffic that includes half of the world's containerized cargo, one third of its bulk cargo and two third of its oil shipment. Its waters carry heavy traffic of petroleum and petroleum products from the oilfields of the Persian Gulf and Indonesia, and contain an estimated 40% of the world's offshore oil production. The Ocean features four critically important access waterways facilitating international maritime trade - the Suez Canal in Egypt, Babel-Mandeb (bordering Djibouti and Yemen), Straits of Hormuz (bordering Iran and Oman), and Straits of Malacca (bordering Indonesia and Malaysia). These 'chokepoints' or narrow channels are critical to world oil trade as huge amounts of oil pass through them."

Dengan berkaca pada urgensi daripada Samudra Hindia sendiri maka Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi poros maritim dunia. Namun untuk itu bukan hanya potensi yang dibutuhkan, melainkan usaha yang keras dan kerja sama dari berbagai pihak penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut.


Sumber :
Dale Walton, Geopolitics and the Great Powers in the Twenty-First Century: Multipolarity and the Revolution in Strategic Perspective, London: Routledge, 2007
Robert D. Kaplan, Center Stage for the Twenty-first Century, Power Plays in the Indian Ocean
Kontestasi Politik Di Samudera Hindia. http://geostrategicpassion.blogspot.com/2011/08/kontestasi-politik-di-samudera-hindia.html

Jumat, 20 Maret 2015

Melihat Secuil Kondisi Ekosistem dan Sumber Daya di Pesisir Indonesia


Masing-masing wilayah pesisir memiliki keunikan tersendiri antara satu dengan yang lain. Keunikan dan karakteristik yang berbeda tersebut bisa disebabkan karena kondisi ekosistem dan kekayaan sumber daya yang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Kondisi ekosistem yang terbentuk di suatu wilayah pesisir mempengaruhi jenis dan jumlah sumber daya yang ada di sana. Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources), (c) energi kelautan serta (d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan mariculture. Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi, gas alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut. Sedangkan jasa lingkungan di wilayah pesisir dan laut antara lain: pariwisata bahari, transportasi laut.

Salah satu daerah di Indonesia yang terkenal dengan sumber daya pesisirnya adalah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. Potensi sumber daya pesisir yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah produksi hasil perikanan. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan yang banyak diperoleh adalah ikan tuna, ikan layang-layang, dan ikan kakap. Di Kabupaten Alor, ikan yang banyak dimanfaatkan merupakan ikan laut. Posisi geografis Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor yang berada di wilayah perairan menyebabkan mayoritas penduduk bekerja dalam bidang usaha pertanian. Pertanian yang dimaksud disini termasuk didalamnya sektor perikanan. Oleh karena itu, pemanfaatan ekonomi wilayah pesisir harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak merusak lingkungan pesisir.


Sayangnya di Kabupaten tersebut masih adanya eksploitasi sumber daya alam yang merusak dan mengganggu ekosistem, seperti penambangan pasir laut, penggunaan batu karang, penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, dan penangkapan terhadap jenis ikan yang dilarang. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk dalam jenis ikan yang dilindungi, namun banyak ditangkap, baik oleh masyarakat setempat maupun pendatang. Harga ikan napoleon di Kabupaten Wakatobi mencapai Rp 600 ribu/kilogram, sedangkan apabila dijual di Hongkong mencapai Rp 2 juta/kilogram. Ikan napoleon hanya bisa diperoleh dengan cara menggunakan obat bius, dan tidak menggunakan alat pancing. Ikan napoleon bersimbiosis dengan terumbu karang, bentuknya adalah ikan napoleon memakan bintang laut yang menempel di terumbu karang. Sedangkan di Kabupaten Alor pengambilan pasir laut masih terjadi. Perdagangan terumbu karang dan penangkapan ikan menggunakan bahan beracun alamiah masih sering dilakukan. Bahan beracun alamiah ini berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di Pulau Alor. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak masih banyak ditemukan. Nelayan yang menggunakan bom ikan banyak berasal dari luar Wakatobi.

Realita di lapangan mencerminkan, betapa masih jauh dari cukupnya upaya pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Satu dua upaya saja tidak akan cukup, dibutuhkan upaya yang berkelanjutan untuk bisa mempertahankan dan membangun wilayah pesisir di Indonesia. Indonesia yang kaya akan sumber daya laut dan darat perlu banyak belajar dari negara-negara yang kurang sumberdayanya, agar masyarakat Indonesia dapat berkaca dan menyadari bagaimana cara untuk memanfaatkan anugerah Tuhan yang luar biasa ini. 

Sumber : Bagian Kesatu Penelitian tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir : Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan Dan Sosial oleh Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

Sabtu, 14 Maret 2015

Pengelolaan Wilayah Pesisir di Jakarta


DKI Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota dari Indonesia, merupakan daerah yang terdepan di Indonesia. Kegiatan pemerintahan dan kebijakan banyak dikeluarkan di kota yang terkenal dengan identitas Suku Betawi. Namun yang disayangkan adalah mengenai pengelolaan wilayah di kota ini yang masih tergolong cukup minim untuk kota metropolitan sekelas DKI Jakarta. Pengelolaan wilayah ini tidak hanya meliputi pengelolaan wilayah darat, namun juga pengelolaan wilayah pesisir. DKI Jakarta sampai saat ini belum mengatur zonasi darat, hal itu yang menyebabkan pembangunan di DKI Jakarta begitu pesat dan seringkali tidak teratur, terbukti dengan keberadaan gedung-gedung megah dan perkampungan kumuh yang secara bersamaan ada di kota ini. Kepadatan yang terjadi di DKI Jakarta secara berkelanjutan ini membawa efek samping yang tidak ringan. 60% daratan di Jakarta Utara sudah berada di bawah permukaan laut, kondisi ini menyebabkan terdapat 24 lokasi genangan air (30% dari lokasi genangan di Jakarta Utara). Di wilayah pesisir pun tidak jauh berbeda. Di pesisir DKI Jakarta terjadi intrusi air laut akibat penambangan air tanah yang berlebihan, selain itu pencemaran lingkungan perairan juga terjadi akibat limbah dan sampah masyarakat.




Perlu dilakukan pengelolaan wilayah pesisir di lingkungan Jakarta sendiri. Pengelolaan wilayah pesisir ini memerlukan pertimbangan berbagai aspek, salah satunya adalah aspek ekosistem dan struktur di wilayah pesisir tersebut. Ekosistem pesisir juga merupakan tempat penampung limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Hal itulah yang terjadi di kota metropolitan ini. Kemudian bagaimana kira kira solusi yang dapat dilakukan ? Tentu saja harus dimulai dari kesadaran masyarakat, karena tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh sampah dan limbah itu sendiri pun bersumber dari masyarakat lokal. Hal lain yang dapat diupayakan adalah melakukan pembersihan dan perbaikan lingkungan perairan di sepanjang pantai dan daerah aliran sungai melalui pengerukan, pengurangan limbah organik, dan limbah industri secara sistematis, terencana dan terorganisir secara lintas sektoral dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dan BOTABEK. Pemantauan dari pemerintah juga penting, tidak hanya di permukaan namun juga dasar perairan. Dengan beberapa usaha tersebut, diharapkan pencemaran di pesisir DKI Jakarta dapat dikurangi secara berangsur-angsur.

Sumber : JAI Vol.3, No.1 2007 dengan judul Kondisi Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta, oleh Suhendar I. Sachoemar dan Heru Dwi Wahjono (Peneliti BPPT)


Sabtu, 07 Maret 2015

Peluang dan Tantangan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

Indonesia dianugrahi wilayah dengan kondisi perairan yang lebih luas daripada daratannya. Takdir tersebut membuat Indonesia memiliki kekayaan sumber daya laut yang luar biasa di setiap sisi wilayahnya. Indonesia memiliki kesempatan untuk dapat memanfaatkan sumber daya tersebut dengan sebaik-baiknya. Sayangnya, pemikiran yang masih berkembang sampai saat ini di masyarakat Indonesia adalah cenderung hanya ingin memanfaatkan sumber daya tersebut tanpa memikirkan ketersediaan di masa yang akan datang. Hal itulah mengapa banyak para nelayan yang mencari ikan dengan peralatan yang tidak seharusnya, misalnya pukat harimau yang tidak hanya mampu menjaring ikan-ikan besar namun juga benih-benih daripada ikan tersebut. Untuk itulah diperlukan suatu cara pengelolaan wilayah pesisir untuk menjaga kelangsungan sumber daya laut tersebut. Pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pencanangan kebijakan maritim untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim bagi dunia.

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi poros maritim dunia, bukan hanya karena kepemilikan atas wilayah laut yang luas namun juga karena armada Indonesia juga mumpuni untuk mendukung Indonesia sebagai negara maritim yang kuat. Indonesia memiliki armada angkatan laut yang memadai dan terus dikembangkan dari waktu ke waktu. Armada ini menjadi peluang bagi Indonesia sebagai bentuk kekuatan Indonesia dalam menggalakkan kebijakan maritim. Kondisi Indonesia yang berupa negara kepulauan membuat Indonesia juga kaya akan nelayan di setiap pulaunya. Nelayan ini sebenarnya merupakan suatu peluang tersendiri karena dapat diupayakan sebagai pihak pengelola dan konservasi wilayah pesisir itu sendiri. Keberadaan para nelayan di pesisir ini janganlah dipandang sebelah mata, sebab dengan pengarahan yang tepat dan didukung oleh kemampuan yang mereka miliki, nelayan dapat menjadi suatu kekuatan maritim yang besar bagi Indonesia.

Namun di sisi lain, para nelayan ini dapat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia, khususnya pemerintah. Bagian yang menantang adalah mengenai bagaimana membuat mereka mampu menerima dan memahami setiap kebijakan maritim yang nanti akan diberlakukan, karena tentu mereka pasti akan sangat selektif dan sangsi akan hal yang menyangkut kesejahteraan mereka. Tantangan lain bagi Indonesia adalah mengenai kondisi Indonesia dari sisi oseanografisnya. Indonesia dengan kondisi perairannya yang merupakan kombinasi laut dalam dan laut dangkal menjadi suatu tantangan tersendiri karena Indonesia harus bisa membuat suatu kebijakan yang mampu mewadahi dan melindungi keseluruhan sumber daya yang kaya tersebut dengan sebaik mungkin. Apalagi bagi sumber daya yang terancam punah karena kondisinya yang langka dan perlu konservasi yang lebih intensif. Satu hal yang tidak kalah penting, berbatasan dengan 10 negara tetangga membuat Indonesia harus lebih pintar dalam mematangkan setiap kebijakannya demi kebaikan semua pihak, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Sabtu, 28 Februari 2015

Tantangan Indonesia bersama Konsep Wawasan Nusantara


Indonesia merupakan satu kesatuan daratan dan lautan merupakan hasil diplomasi dan negosiasi aktor diplomasi Indonesia yang luar biasa, beliau-beliau adalah Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda. Berkat perjuangan mereka, wilayah perairan kepulauan kini sepenuhnya menjadi kewenangan Indonesia. Pada UNCLOS ke-III tahun 1982, setelah berbagai perjuangan yang keras, Indonesia berhasil meyakinkan dunia tentang Wawasan Nusantara, yang memandang keseluruhan wilayah Indonesia yang terdiri dari matra darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh.

Konsep wawasan nusantara yang telah disetujui merupakan suatu sumbangan Indonesia ke pihak Internasional dalam hal penentuan batas wilayah suatu negara kepulauan. Hal tersebut berimplikasi pada tantangan baru bagi Indonesia sendiri, dimana Indonesia harus bertanggung jawab atas berbagai resiko yang timbul akibat konsep wawasan nusantara itu sendiri. Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal terkait wilayahnya yang besar itu, dimana indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga. Dalam hal ini, Indonesia sedang berupaya untuk menyelesaikan perjanjian batas dengan 10 negara tersebut. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi mengingat bahwa batas antar kedua negara harus disetujui oleh kedua negara itu sendiri. Negosiasi dengan berbagai pertimbangan harus dilakukan dan keseluruhan proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Selain tantangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait perbatasan, Indonesia juga memiliki tantangan lain, yaitu terkait penentuan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Alur Laut Kepulauan Indonesia menjadi hal yang penting karena perairan kepulauan indonesia, sudah sejak dahulu kala digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal internasional, dengan disetujuinya konsep dari Indonesia tentang hak berdaulat yang meliputi daratan dan laut di antara pulau-pulau, maka Indonesia secara bertanggung jawab berwenang menyediakan jalur lalu lintas kapal internasional. Hal ini menjadi penting, agar kapal-kapal negara lain dapat tetap memiliki jalur lintas dan di sisi lain agar Indonesia tetap bisa memantau pergerakan kapal asing di Indonesia demi aspek pengawasan keamanan wilayah Indonesia. Penentuan ALKI ini bukanlah sesuatu yang mudah apalagi ALKI harus disetujui bukan hanya oleh satu atau dua negara, namun negara-negara di seluruh dunia, utamanya negara pengguna jalur tersebut. Dibutuhkan usaha yang serius untuk merumuskan ALKI yang menguntungkan bagi Indonesia dan tidak merugikan dunia.

Aspek lain yang menjadi tantangan Indonesia adalah mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Wilayah Indonesia yang begitu luas ini tentunya tidak serta merta diabaikan begitu saja. Perlu dilakukan usaha-usaha untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah yang luas ini agar mampu memberikan manfaat bagi negara Indonesia secara nyata. Bukan hanya melakukan pengelolaan wilayah daratan namun juga di perairan dan pesisir. Aspek perikanan dan kemaritiman Indonesia perlu dikembangkan lagi, selain itu kawasan pesisir perlu dikonservasi untuk dijaga kelestariannya, karena itulah yang menjadi warisan bagi generasi penerus bangsa nantinya.

Jumat, 20 Februari 2015

ANALISIS UU NO. 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Manusia tentu banyak berinteraksi dengan lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Tidak dapat dipungkiri kehidupan manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga menjaga lingkungan menjadi suatu hal yang penting dan perlu diagendakan. Demi menjamin agenda tersebut dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur dan merinci hal-hal terkait kesejahteraan lingkungan, bukan hanya lingkungan secara umum namun juga secara khusus seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang dan perlu dikelola secara berkelanjutan serta berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Untuk itu, pada tahun 2007, pemerintah merumuskan Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007.

Dalam prakteknya Undang-Undang tersebut ternyata belum mampu memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Perubahan yang cukup vital adalah mengenai HP-3, yaitu Hak Penguasaan Pesisir yang kemudian diperbarui menjadi Izin Lokasi di UU No.1 Tahun 2004.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
diubah menjadi
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.
Istilah Hak Penguasaan Pesisir (HP-3) dianggap belum mewakili kebijakan pemerintah, karena istilah Hak membuat dalam pelaksanaan pengelolaan pesisir tidak terdapat kesempatan dari pemerintah untuk dapat menuntut apa-apa terkait pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan. Sehingga pengelola seakan-akan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa kepada pemerintah atas apa yang telah dilakukan. Hal ini tentu menjadi suatu kendala bagi pemerintah dalam mengontrol bagaimana seharusnya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan.

Secara garis besar, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diubah sebagai berikut:
No
Bentuk perubahan dan alasan
Pasal yang diubah
1
Menambahkan istilah baru untuk mempertegas dan melengkapi makna kalimat yang dimaksud.
Ketentuan Pasal 1 angka 1
2
Meringkas struktur kalimat menjadi lebih efektif dan lebih mudah dipahami oleh pembaca, hanya memperbaiki EYD dari salah satu kata, dan penambahan kata untuk mempertegas makna.
Ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23, Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 23, Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 28, Pasal 1 angka 29, Pasal 1 angka 31, Pasal 1 angka 32, Pasal 1 angka 38, Pasal 1 angka 33, Pasal 14 (1) dan ayat (7), Pasal 63 ayat (2), Pasal 1 angka 44
3
Penggantian istilah dan perundang-undangan terkait istilah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi Izin Lokasi.
Ketentuan Pasal 1 angka 18
4
Perubahan judul
Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah dari "Hak Pengusahaan Perairan Pesisir" sehingga menjadi "Izin"
5
Perubahan menyesuaikan izin lokasi yang dibahas pada Ketentuan Pasal 1 angka 18.
Ketentuan Pasal 16, Ketentuan Pasal 17, Ketentuan Pasal 18, Ketentuan Pasal 19, Ketentuan Pasal 20, Ketentuan Pasal 21, Ketentuan Pasal 22, Di antara Pasal 22, , diubah karena berhubungan dengan Ketentuan Pasal 1 angka 18
Ketentuan Pasal 50, Ketentuan Pasal 51, Ketentuan Pasal 60 diubah karena berhubungan dengan kewenangannya.
Ketentuan Pasal 75 diubah berhubungan dengan sanksi dan denda kelalaian
6
Penambahan pasal untuk memperjelas makna.
Pasal 1 Angka 27A, Pasal 26A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 75A, Pasal 78A, Pasal 78B, Pasal 1 angka 18A.
7
Perubahan dan perincian pasal-pasalnya menjadi beberapa butir.
Ketentuan Pasal 30, Pasal 63 ayat (2), Pasal 71.

Dengan adanya perubahan tersebut, pengelolaan wilayah pesisir memiliki ikatan hukum yang lebih kuat, sehingga pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan lebih bertanggung jawab dan berdasar hukum yang kuat. Peraturan ini juga melindungi wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil dari ancaman pemanfaatan pihak-pihak yang tidak berwenang, sehingga eksistensi dan kelestarian wilayah pesisir dapat terus terjaga.