Manusia tentu banyak berinteraksi
dengan lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Tidak dapat dipungkiri
kehidupan manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga menjaga
lingkungan menjadi suatu hal yang penting dan perlu diagendakan. Demi menjamin
agenda tersebut dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur dan merinci hal-hal
terkait kesejahteraan lingkungan, bukan hanya lingkungan secara umum namun juga
secara khusus seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang
dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai
oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi
generasi yang akan datang dan perlu dikelola secara berkelanjutan serta
berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat,
dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Untuk itu, pada
tahun 2007, pemerintah merumuskan Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007.
Dalam prakteknya Undang-Undang tersebut ternyata belum mampu memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Perubahan yang cukup vital adalah
mengenai HP-3, yaitu Hak Penguasaan Pesisir yang kemudian diperbarui menjadi
Izin Lokasi di UU No.1 Tahun 2004.
Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
diubah menjadi
Izin
Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan
sebagian pulau-pulau kecil.
Istilah Hak Penguasaan Pesisir (HP-3)
dianggap belum mewakili kebijakan pemerintah, karena istilah Hak membuat dalam
pelaksanaan pengelolaan pesisir tidak terdapat kesempatan dari pemerintah untuk
dapat menuntut apa-apa terkait pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan.
Sehingga pengelola seakan-akan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa kepada
pemerintah atas apa yang telah dilakukan. Hal ini tentu menjadi suatu kendala
bagi pemerintah dalam mengontrol bagaimana seharusnya pengelolaan wilayah
pesisir dilakukan.
Secara garis besar, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diubah sebagai berikut:
No
|
Bentuk
perubahan dan alasan
|
Pasal
yang diubah
|
1
|
Menambahkan istilah baru untuk
mempertegas dan melengkapi makna kalimat yang dimaksud.
|
Ketentuan Pasal 1 angka 1
|
2
|
Meringkas struktur kalimat menjadi
lebih efektif dan lebih mudah dipahami oleh pembaca, hanya memperbaiki EYD
dari salah satu kata, dan penambahan kata untuk mempertegas makna.
|
Ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23,
Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 23, Pasal 1 angka 26, Pasal
1 angka 28, Pasal 1 angka 29, Pasal 1 angka 31, Pasal 1 angka 32, Pasal 1
angka 38, Pasal 1 angka 33, Pasal 14 (1) dan ayat (7), Pasal
63 ayat (2), Pasal 1 angka 44
|
3
|
Penggantian istilah dan
perundang-undangan terkait istilah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi
Izin Lokasi.
|
Ketentuan Pasal 1 angka 18
|
4
|
Perubahan judul
|
Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah
dari "Hak Pengusahaan Perairan Pesisir" sehingga menjadi
"Izin"
|
5
|
Perubahan menyesuaikan izin lokasi
yang dibahas pada Ketentuan Pasal 1 angka 18.
|
Ketentuan Pasal 16, Ketentuan Pasal
17, Ketentuan Pasal 18, Ketentuan Pasal 19, Ketentuan Pasal 20, Ketentuan
Pasal 21, Ketentuan Pasal 22, Di antara Pasal 22, , diubah karena berhubungan
dengan Ketentuan Pasal 1 angka 18
Ketentuan Pasal 50, Ketentuan Pasal
51, Ketentuan Pasal 60 diubah karena berhubungan dengan kewenangannya.
Ketentuan Pasal 75 diubah berhubungan
dengan sanksi dan denda kelalaian
|
6
|
Penambahan pasal untuk memperjelas makna.
|
Pasal 1 Angka 27A, Pasal 26A, Pasal
22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 75A, Pasal 78A, Pasal 78B, Pasal 1 angka 18A.
|
7
|
Perubahan dan perincian pasal-pasalnya
menjadi beberapa butir.
|
Ketentuan Pasal 30, Pasal 63 ayat
(2), Pasal 71.
|
Dengan adanya perubahan
tersebut, pengelolaan wilayah pesisir memiliki ikatan hukum yang lebih kuat,
sehingga pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan lebih bertanggung
jawab dan berdasar hukum yang kuat. Peraturan ini juga melindungi wilayah
pesisir serta pulau-pulau kecil dari ancaman pemanfaatan pihak-pihak yang tidak
berwenang, sehingga eksistensi dan kelestarian wilayah pesisir dapat terus
terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar