Sabtu, 28 Februari 2015

Tantangan Indonesia bersama Konsep Wawasan Nusantara


Indonesia merupakan satu kesatuan daratan dan lautan merupakan hasil diplomasi dan negosiasi aktor diplomasi Indonesia yang luar biasa, beliau-beliau adalah Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda. Berkat perjuangan mereka, wilayah perairan kepulauan kini sepenuhnya menjadi kewenangan Indonesia. Pada UNCLOS ke-III tahun 1982, setelah berbagai perjuangan yang keras, Indonesia berhasil meyakinkan dunia tentang Wawasan Nusantara, yang memandang keseluruhan wilayah Indonesia yang terdiri dari matra darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh.

Konsep wawasan nusantara yang telah disetujui merupakan suatu sumbangan Indonesia ke pihak Internasional dalam hal penentuan batas wilayah suatu negara kepulauan. Hal tersebut berimplikasi pada tantangan baru bagi Indonesia sendiri, dimana Indonesia harus bertanggung jawab atas berbagai resiko yang timbul akibat konsep wawasan nusantara itu sendiri. Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal terkait wilayahnya yang besar itu, dimana indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga. Dalam hal ini, Indonesia sedang berupaya untuk menyelesaikan perjanjian batas dengan 10 negara tersebut. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi mengingat bahwa batas antar kedua negara harus disetujui oleh kedua negara itu sendiri. Negosiasi dengan berbagai pertimbangan harus dilakukan dan keseluruhan proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Selain tantangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait perbatasan, Indonesia juga memiliki tantangan lain, yaitu terkait penentuan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Alur Laut Kepulauan Indonesia menjadi hal yang penting karena perairan kepulauan indonesia, sudah sejak dahulu kala digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal internasional, dengan disetujuinya konsep dari Indonesia tentang hak berdaulat yang meliputi daratan dan laut di antara pulau-pulau, maka Indonesia secara bertanggung jawab berwenang menyediakan jalur lalu lintas kapal internasional. Hal ini menjadi penting, agar kapal-kapal negara lain dapat tetap memiliki jalur lintas dan di sisi lain agar Indonesia tetap bisa memantau pergerakan kapal asing di Indonesia demi aspek pengawasan keamanan wilayah Indonesia. Penentuan ALKI ini bukanlah sesuatu yang mudah apalagi ALKI harus disetujui bukan hanya oleh satu atau dua negara, namun negara-negara di seluruh dunia, utamanya negara pengguna jalur tersebut. Dibutuhkan usaha yang serius untuk merumuskan ALKI yang menguntungkan bagi Indonesia dan tidak merugikan dunia.

Aspek lain yang menjadi tantangan Indonesia adalah mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Wilayah Indonesia yang begitu luas ini tentunya tidak serta merta diabaikan begitu saja. Perlu dilakukan usaha-usaha untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah yang luas ini agar mampu memberikan manfaat bagi negara Indonesia secara nyata. Bukan hanya melakukan pengelolaan wilayah daratan namun juga di perairan dan pesisir. Aspek perikanan dan kemaritiman Indonesia perlu dikembangkan lagi, selain itu kawasan pesisir perlu dikonservasi untuk dijaga kelestariannya, karena itulah yang menjadi warisan bagi generasi penerus bangsa nantinya.

Jumat, 20 Februari 2015

ANALISIS UU NO. 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Manusia tentu banyak berinteraksi dengan lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Tidak dapat dipungkiri kehidupan manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga menjaga lingkungan menjadi suatu hal yang penting dan perlu diagendakan. Demi menjamin agenda tersebut dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur dan merinci hal-hal terkait kesejahteraan lingkungan, bukan hanya lingkungan secara umum namun juga secara khusus seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang dan perlu dikelola secara berkelanjutan serta berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Untuk itu, pada tahun 2007, pemerintah merumuskan Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007.

Dalam prakteknya Undang-Undang tersebut ternyata belum mampu memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Perubahan yang cukup vital adalah mengenai HP-3, yaitu Hak Penguasaan Pesisir yang kemudian diperbarui menjadi Izin Lokasi di UU No.1 Tahun 2004.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
diubah menjadi
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.
Istilah Hak Penguasaan Pesisir (HP-3) dianggap belum mewakili kebijakan pemerintah, karena istilah Hak membuat dalam pelaksanaan pengelolaan pesisir tidak terdapat kesempatan dari pemerintah untuk dapat menuntut apa-apa terkait pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan. Sehingga pengelola seakan-akan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa kepada pemerintah atas apa yang telah dilakukan. Hal ini tentu menjadi suatu kendala bagi pemerintah dalam mengontrol bagaimana seharusnya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan.

Secara garis besar, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diubah sebagai berikut:
No
Bentuk perubahan dan alasan
Pasal yang diubah
1
Menambahkan istilah baru untuk mempertegas dan melengkapi makna kalimat yang dimaksud.
Ketentuan Pasal 1 angka 1
2
Meringkas struktur kalimat menjadi lebih efektif dan lebih mudah dipahami oleh pembaca, hanya memperbaiki EYD dari salah satu kata, dan penambahan kata untuk mempertegas makna.
Ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23, Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 23, Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 28, Pasal 1 angka 29, Pasal 1 angka 31, Pasal 1 angka 32, Pasal 1 angka 38, Pasal 1 angka 33, Pasal 14 (1) dan ayat (7), Pasal 63 ayat (2), Pasal 1 angka 44
3
Penggantian istilah dan perundang-undangan terkait istilah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi Izin Lokasi.
Ketentuan Pasal 1 angka 18
4
Perubahan judul
Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah dari "Hak Pengusahaan Perairan Pesisir" sehingga menjadi "Izin"
5
Perubahan menyesuaikan izin lokasi yang dibahas pada Ketentuan Pasal 1 angka 18.
Ketentuan Pasal 16, Ketentuan Pasal 17, Ketentuan Pasal 18, Ketentuan Pasal 19, Ketentuan Pasal 20, Ketentuan Pasal 21, Ketentuan Pasal 22, Di antara Pasal 22, , diubah karena berhubungan dengan Ketentuan Pasal 1 angka 18
Ketentuan Pasal 50, Ketentuan Pasal 51, Ketentuan Pasal 60 diubah karena berhubungan dengan kewenangannya.
Ketentuan Pasal 75 diubah berhubungan dengan sanksi dan denda kelalaian
6
Penambahan pasal untuk memperjelas makna.
Pasal 1 Angka 27A, Pasal 26A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 75A, Pasal 78A, Pasal 78B, Pasal 1 angka 18A.
7
Perubahan dan perincian pasal-pasalnya menjadi beberapa butir.
Ketentuan Pasal 30, Pasal 63 ayat (2), Pasal 71.

Dengan adanya perubahan tersebut, pengelolaan wilayah pesisir memiliki ikatan hukum yang lebih kuat, sehingga pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan lebih bertanggung jawab dan berdasar hukum yang kuat. Peraturan ini juga melindungi wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil dari ancaman pemanfaatan pihak-pihak yang tidak berwenang, sehingga eksistensi dan kelestarian wilayah pesisir dapat terus terjaga.